Copyright: Rio S. Migang, MSc to Borneo Tourism Watch [BTW]
Tulisan dengan judul di atas merupakan buah karya dari Ms. Jeannita Adisty, seorang mahasiswa yang multi talented & saat ini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Management & Tourism, Universitas Udayana Bali. Saya hanya kebagian tugas mengedit beberapa bagian saja. Dan
syukur dimuat di Harian Kalteng Pos selama 2 hari berturut-turut, Senin-Selasa 7 & 8 September 2009, dengan judul lengkap Pariwisata Alternatif: Apa, Siapa & Bagaimana?
Silahkan lihat disini, atau baca lengkap klik more..
PARIWISATA ALTERNATIF: APA, SIAPA DAN BAGAIMANA?
Oleh: Jeannita Adisty & Rio S. Migang*
Pariwisata dalam masyarakat awam dikenal sebagai kegiatan bersenang-senang atau suatu bidang yang menjual daya tarik suatu objek wisata agar dikunjungi wisatawan lokal maupun asing. Hal ini dikarenakan pencitraan terhadap pariwisata adalah daerah yang bisa dikunjungi orang untuk melepas kejenuhan rutinitas hari-hari. Atau sebatas kegiatan yang berkunjung ke suatu tempat untuk menikmati keindahan alam tempat tersebut.
Memang hal tersebut tidak salah, karena memang dalam pariwisata hal-hal demikian adalah salah satu wujud eksistensinya. Namun dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata yang baik dan benar, pengertian sebatas hal-hal di atas tidaklah cukup dan tidak tepat.
Apa itu Pariwisata?
Apabila pariwisata hanya dikenal sebagai kegiatan bersenang-senang, maka kemudian pembangunan pariwisata dan pengelolaannya cenderung sebatas pembukaan lahan yang belum tentu melestarikan ekosistem alami, pengadaan atraksi wisata buatan yang mungkin hanya bersifat sementara, bahkan seringkali promosi yang dikemas membohongi publik, dan hasilnya hanya untuk investor tanpa ada kontribusi yang cukup berarti bagi ekonomi masyarakat lokal. Lantas strategi pengelolaan pun tidak diperhatikan dan dibiarkan berjalan begitu saja. Apabila pengunjung sudah bosan, destinasi atau tujuan wisata menjadi sepi, lantas destinasi tersebut ditelantarkan, tidak diurus dan terbengkalai. Lambat laun akan rusak dan akhirnya sia-sia.
Contohnya di kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dulu ada daerah tujuan wisata yang dikenal dengan Taman Sabaru dimana ada kolam renang, areal pemancingan hingga panggung hiburan rakyat. Namun beberapa tahun kemudian setelah sempat cukup ramai akhirnya terbengkalai hingga akhirnya dibiarkan begitu saja dan kini malah beralih menjadi lahan untuk area motor cross atau balapan motor apabila ada pertandingan balapan.
Atau Taman Alam Bukit Tangkiling yang menekankan daya tarik alamnya dan satwa buaya. Namun lama kemudian, setelah masyarakat jenuh dengan yang itu-itu saja, objek ini kemudian terlantar dan akses masuknya lambat laun ikut rusak karena tidak dipelihara. Demikian halnya dengan Taman Hutan Arboretum Nyaru Menteng. Banyak daerah tujuan wisata alam lainnya di Palangkaraya dan Kalteng yang sempat dipromosikan, sempat populer, bahkan masih masuk katalog daerah tujuan wisata tapi sebenarnya tidak layak untuk dikunjungi wisatawan dan atraksi wisatanya pun kurang untuk menarik minat wisatawan.
Apabila pariwisata hanya dimaknai sebagai kegiatan piknik, berpergian ke suatu daerah wisata, untuk melepas kejenuhan akan rutinitas hari-hari dan sekaligus menikmati keindahan tempat tersebut. Maka asumsi yang amat sangat sederhana ini akan berpengaruh terhadap partisipasi dan dukungan masyarakat terkait pengembangan pariwisata.
Masyarakat dengan paradigma sederhana mengenai pariwisata kemudian akan mendukung pengembangan pariwisata terkait sebatas menerima keberadaan objek wisata, namun apabila dilibatkan dalam perencanaan, pembangunan hingga pengelolaan, masyarakat lokal akan sulit memberi dukungan karena tidak sepenuhnya mengerti apa dan bagaimana pariwisata yang sebenarnya. Bahwa pariwisata adalah industri jasa yang kompleks dan memiliki dampak positif maupun negatif.
Definisi pariwisata sendiri dalam Undang-undang Kepariwisataan yang baru No. 10 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1 disebutkan adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Dua kotak besar
Pariwisata secara umum dalam pola pikir penulis bisa dijabarkan bagai dua kotak besar. Kotak besar pertama yaitu pariwisata masal yang selama ini kita lihat dan berkembang. Wisatawan didatangkan sebanyak-banyaknya ke suatu daerah. Semua sumber daya alam dan budaya dikomersialisasikan besar-besaran tanpa memperhatikan kelestariannya. Nilai edukasi tidak diperhatikan baik bagi wisatawan sebagai tamu (guest) maupun penyedia sebagai tuan rumah (host). Pariwisata masal ini kemudian terbukti membawa banyak dampak negatif dibandingkan dampak positifnya baik bagi masyarakat lokal, kelestarian alam dan budaya, hingga bagi ekonomi masyarakat lokal.
Kotak besar kedua yang beberapa tahun terakhir ini baru berkembang cukup pesat adalah pariwisata alternatif. Berkembangnya pariwisata alternatif ini merupakan reaksi dari munculnya dampak negatif pariwisata masal. Sehingga keberadaan pariwisata alternatif ini cenderung lebih memberikan dampak positif bagi masyarakat lokal baik dari segi budaya, ekonomi dan edukasi, hingga meminimalisir dampak negatif perkembangan pariwisata. Selain itu pariwisata alternatif juga memberikan nilai edukasi bagi wisatawan yang datang ke suatu destinasi wisata.
Kemudian, hasil-hasil studi yang berkembang menunjukkan bahwa pariwisata harus memiliki konsep keberlanjutan. Maksudnya pariwisata tidak hanya berhenti pada satu titik, tapi terus menerus berputar, meregenerasikan dirinya, dan semakin berkembang lebih baik. Pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang mementingkan kepentingan generasi saat ini tanpa melupakan kepentingan generasi masa depan. Maksudnya generasi masa kini dan generasi mada depan kebutuhannya harus sama-sama terpenuhi. Kondisi alam harus sama-sama lestari, eksistensi budaya lokal harus sama lestari, serta edukasi bagi masyarakat lokal dalam interaksinya dengan tamu juga harus sama pentingnya untuk dilestarikan.
Pariwisata berkelanjutan melibatkan masyarakat sebagai salah satu pelaku utamanya dan mengutamakan kelestarian sumber daya. Hal ini kemudian dikenal dengan konsep sustainable tourism (Indonesia: pariwisata berkelanjutan). Payung besar pariwisata berkelanjutan ini kemudian berelasi dan membawahi kotak besar pariwisata alternatif yang kemudian terwujud dalam beberapa konsep.
Konsep-konsep pengembangan pariwisata alternatif dalam ujud ekowisata (ecotourism) yang menitikberatkan pada kelestarian ekosistem dan berbasis masyarakat lokal sebagai aktor utama, dimana kegiatan pariwisatanya merupakan kegiatan yang bertanggung jawab (responsible tourism).
Paradigma Keberlanjutan
Kesalahan pola pikir dan prinsip pengelolaan pariwisata yang masih perlu dibenahi saat ini adalah: Berapa banyak wisatawan yang bisa ditarik ke suatu daerah tujuan wisata (destinasi)? serta Pelayanan dan fasilitas apa yang wisatawan inginkan? Membicarakan kedua hal penting ini tentu akan berkaitan dengan banyak hal.
Saat membicarakan berapa banyak wisatawan yang bisa ditarik untuk datang ke suatu daerah tujuan wisata, tentu kita juga turut membicarakan sisi perekonomian daerah. Pariwisata yang dianggap dapat memberikan kontribusi besar atas pemasukan daerah tentu dalam pengelolaan daerah tujuan wisata yang diutamakan adalah menarik jumlah wisatawan sebanyak mungkin. Banyak wisatawan yang datang, maka pemasukan semakin tinggi.
Namun kesalahan fatal yang sering kali terabaikan atau sengaja tidak diperhatikan adalah kapasistas penerimaan wisatawan di suatu daerah. Berapa maksimal daerah tujuan wisata tersebut bisa menampung kunjungan wisatawan dalam periode tertentu. Sebab hal ini akan berdampak pada kelestarian sumber daya di daerah yang dijadikan daya tarik wisata.
Kemudian yang sering terabaikan adalah bagaimana target pasar yang tepat untuk daerah tujuan wisata tersebut. Tidak semua wisatawan yang dapat berkunjung ke suatu destinasi wisata dapat dikatakan wisatawan yang potensial dan berkualitas. Dalam hal ini maksudnya adalah wisatawan yang dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian masyarakat lokal yang mampu dan mau mengeluarkan uangnya di destinasi wisata.
Apabila kedua hal tersebut sudah dirancang dengan tepat baik dari jumlah kapasitas kunjungan wisatawan terkait daya tampung daerah dalam periode tertentu serta target pasar terkait wisatawan yang berkualitas dan potensial, maka hal lain yang harus diperbaiki adalah terkait penyediaan pelayanan dan fasilitas wisata.
Pariwisata sebagai salah satu industri jasa besar atau yang dikenal dengan industri jasa keramahtamahan (hospitality industry) terkait erat dengan pelayanan dan penyediaan fasilitas. Keramahtamahan yang diutamakan sebagai jasa yang dijual harus mengutamakan service atau pelayanan yang profesional. Baik dalam taraf sederhana pun pemberian layanan jasa harus tetap profesional dan sesuai etika yang baik. Bukan pelayanan yang seadanya tanpa memperhatikan etika pelayanan jasa. Karena wisatawan yang berkunjung menginginkan pengalaman yang berbeda dari tempat asalnya. Itu yang harus diperhatikan dalam pelayanan. Misalnya bagaimana cara memberikan salam yang baik dan menggambarkan citra warga lokal yang berbudaya positif.
Demikian halnya fasilitas yang disediakan bagi wisatawan. Sering kali kita membangun fasilitas yang mewah padahal bukan itu yang benar-benar diperlukan. Buat apa hotel bintang lima tapi akses masuk masih sulit? Buat apa hotel dan restauran berkelas atas kalau sistem komunikasi dan penyediaan transportasi masih minim? Tentunya kemudian hal ini tidak akan seimbang satu dengan lainnya.
Syarat utama daerah tujuan wisata adalah salah satunya adalah akses masuk seperti prasarana jalan yang baik, moda transportasi yang baik, serta ketersediaan media informasi yang baik. Apabila dilihat dari syarat ideal tersebut, maka penyediaan aksesibilitas menjadi lebih utama dan penting dibandingkan fasilitas mewah. Bukan berarti kemudian fasilitas yang disediakan sembarangan. Namun penyediaan fasilitas ini harus disesuaikan dengan konsep dan model pembangunan destinasi wisata.
Apabila model yang digunakan adalah ekowisata maka fasilitas yang ditawarkan adalah fasilitas yang jauh dari perkembangan teknologi yang mewah. Justru penyediaan fasilitas yang sederhana, menggunakan bahan lokal, tidak menawarkan kemewahan, masih kuat unsur alaminya, dengan bahan-bahan dan peralatan yang ramah lingkungan, itulah yang harus ditonjolkan.
Selain itu berbicara tentang penyediaan fasilitas, bukan hanya menggunakan fasilitas milik masyarakat lokal yang sederhana dan ramah lingkungan serta kuat unsur alami dan budayanya saja, namun juga perlu diperhatikan dalam pengelolaan pariwisataya itu bagaimana wisatawan dapat berkontribusi kepada kepentingan kualitas hidup penuduk lokal di daerah tujuan wisata.
Maksudnya, kegiatan aktivitas pariwisata tidak hanya menguntungkan wisatawan tapi juga masyarakat lokal. Wisatawan mendapatkan pengalaman dengan nilai edukasi yang baik demikian juga halnya dengan masyarakat lokal. Proses ini bisa terjadi misalnya adanya interaksi yang baik sehingga memunculkan komunikasi lintas budaya. Masing-masing baik masyarakat lokal sebagai tuan rumah (host) dan wisatawan sebagai tamu (guest) bertukar informasi dan pengetahuan mengenai kehidupan dan budaya mereka yang berbeda sehingga ada sikap saling menghargai.
Pariwisata Alternatif melestarikan sumber daya dan meningkatkan kualitas ekonomi
Pariwisata alternatif merupakan suatu bentuk kegiatan kepariwisataan yang tidak merusak lingkungan, berpihak pada ekologis dan menghindari dampak negatif dari pembangunan pariwisata berskala besar yang dijalankan pada suatu area yang tidak terlalu cepat pembangunannya. (Koslowskidan Travis: 1985).
Merujuk dari pengertian menurut ahli tersebut, maka pariwisata alternatif adalah pariwisata yang muncul guna meminimalisir dampak negatif dari perkembangan pariwisata masal yang terjadi hingga saat ini. Dampak negatif dari pariwisata masal atau pariwisata berskala besar adalah ancaman terhadap kelestarian budaya dimana budaya lebih dikomersialisasikan dibandingkan dijaga keaslian dan kelestariannya. Selain itu dampak negatif yang dapat berbahaya adalah perusakan sumber daya alam dimana sumber daya alam habis dieksploitasi besar-besaran.
Selain itu pariwisata alternatif adalah kegiatan kepariwisataan yang memiliki gagasan yang mengandung arti sebagai suatu pembangunan yang berskala kecil atau juga sebagai suatu kegiatan kepariwisataan yang disuguhkan kepada wisatawan, dimana segala aktivitasnya turut melibatkan masyarakat. (Saglio: 1979 dan Gonsalves: 1984).
Jadi, bisa disimpulkan pembangunan pariwisata yang baik dan mendukung kelestarian sumber daya baik alam, budaya dan manusia adalah pariwisata alternatif.
Denpasar, 2009
September 11, 2009 at 4:57 am
Thanks Rio! artikelmu setidaknya telah membuka wawasan sehubungan dengan paradigma pengembangan pariwisata di KalTeng – yang dibutuhkan selanjutnya adalah Konsep Pengembangan dan Action Plan! Di sisi lain, dalam RIPK Nas, kita angkat TN Tanjung Puting sebagai destinasi unggulan Kalteng, konsep pengembangan masih dirumuskan, yang jelas ekowisata dengan niche market adalah kunci utamanya.
September 11, 2009 at 2:05 pm
@ nanda Rio, nanda Jean. Masukan yang sangat berharga, padat, inspiratif. lanjut melangkah.Salut saling dukung dan bergandengan tangan. Nuansa kebersamaan di rumah betang kental terasa.
September 11, 2009 at 11:51 pm
bagus ini, kita kenalkan arti pariwisata yang sebenarnya —untuk kelestarian lingkungan dan kesejahteraan rakyat, kunjungan turis hanya alat. Jangan dibalik, tujuan mengundang turis. sukses ya
September 12, 2009 at 4:30 pm
@Ibu Dwi Endah
Terima kasih atas respon positif-nya Ibu 🙂
Memang yg dibutuhkan Kalteng adalah konsep pengembangan yang tepat dan action plan, semoga tulisan tersebut bisa merangsang insan pariwisata Kalteng lainnya (karena di kampus saya ada beberapa mahasiswa/i dari Kalteng, dan di Kalteng jg banyak akademisi pariwisata dan praktisi pariwisata) untuk mengembangkan konsep yang tepat dan menerapkannya di Kalteng 🙂
Tentu saya sangat setuju dengan ekowisata sebagai “kekuatan” pengembangan pariwisata kalteng, hanya utk TNTP sebagai yg utama, entah kenapa nurani saya sedikit tidak “damai sejahtera”.
Kekhawatiran saya (mungkin dikarenakan semester ini mengambil mata kuliah Amdal Pariwisata yg kita tahu membicarakan sisi negatif perkembangan pariwisata) mengenai kelestarian orang utan. Saya ingin sekali mengangkat studi tentang pengaruh kunjungan wisatawan terhadap kehidupan orang utan disana (TNTP-red). Kekhwatiran saya, jangan sampai di habitat aslinya ia justru semakin “jinak” dan “bersahabat” dengan manusia. Tapi ini masih “kekhawatiran” yang perlu dibuktikan kebenarannya 🙂
Dan semoga saya bisa mengajukan hal ini untuk jadi studi kasus saya di mata kuliah tersebut, sehingga nanti bisa sebagai bahan referensi pengembangan ekowisata di Kalimantan Tengah.
Salam dari Denpasar 🙂
September 12, 2009 at 4:37 pm
@Mina Nila Riwut
Terima kasih Mina Nila atas responnya.
Sudah harusnya kita sebagai “pahari ije huma” harus saling dukung dan bergandengan tangan bukan? hehe..
walaupun mungkin saya dan pak Rio tidak bersaudara secara garis keturunan darah, tapi yang saya yakini, sebagai anak-anak Kalimantan Tengah, saya juga bersaudara, sama seperti dengan Mina 🙂
Terima kasih mina untuk dukungannya juga. Nanda hanya berusaha untuk mengaplikasikan apa yang nanda dapat, supaya nanda tidak sia-sia jauh-jauh sekolah. 🙂
Tabe bara Denpasar…
Salam dan doa nanda selalu untuk mina dan keluarga..
—————————————-
@ Pak Henky
Terima kasih atas responnya.. 🙂
Kenapa tulisan pertama saya ini (yg dipublish) terkesan sederhana, sebatas memperkenalkan pariwisata (khususnya pariwisata alternatif) karena yang saya perhatikan dari respon masyarakat Kalteng terhadap pariwisata di Kalteng tidak benar-benar menunjukkan “pengertian” mereka tentang apa dan bagaimana pariwisata itu.
Memang bisa dimaklumi karena masyarakat awam tidak belajar tentang pariwisata secara akademis, tapi untuk pengembangan pariwisata yang berkelanjutan harus mengikutsertakan peran masyarakat lokal dan bagaimana peran tersebut bisa optimal tanpa pengertian yang benar. 🙂
Terima kasih.. Sukses jg selalu untuk Bapak 🙂
salam dari Denpasar.
September 12, 2009 at 5:04 pm
@Mr. Rio
Thank you so much sir, for trusting me so I can write this article 🙂
It’s not too excessive for me?? when I read your first sentence which written that I’m a multi-talented student. Actually I feel I’m nothing and I’m nobody 😀
Justru Pak Rio yg multi-talented 🙂
saya hanya mau mengaplikasikan apa yang saya dapat di perguruan tinggi, dan tentunya saya masih harus terus belajar 🙂
Are tarima kasih pak Rio…
Hattala mampahayak 🙂
September 20, 2009 at 10:08 pm
coba hubungi Segah HOB WWF & Bu Erni si Bidang IV. disitu ada kegiatan/proyek studi pengembangan eko wisata. siapa tau berhubungan dan bermanfaat…..SALAM SUKSES
October 22, 2009 at 1:16 am
kami orang dari daerah tertinggal yang kebanyakan kurang bekerja & kurang terdidik. melalui tulisan pikiran ini, kami terbantukan terbuka wawasannya. semoga kalteng bisa maju d, pikran2 negatif jg bs terkikis
bravo!
February 19, 2010 at 4:01 am
hai… bisa minta tolong, sekarang aku pengen ambil skripsi tentang “faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan wisatawan di Taman Nasional tanjung Puting” bagaimana cara biar aku bisa dapat informasi lebih banyak lagi,kalo kamu punya referensi jurnal sejenis tolong email aku, aku pengen biar kalteng dikenal sebagai tempat tujuan wisata yang tidak kalah indahnya,dari kota lain dengan menonjolkan wisata alam yang eksotis dan alami…(mahasiswa sem akhir, jurusan Tourism Manajmen STIE ‘API” Yogyakarta)…thank. before
February 19, 2010 at 6:03 am
Silahkan turun ke lapangan utk memperoleh data langsung. Sebaiknya temui ibu Prof. Birut Galdikas (di desa Pasir Panjang-Kumai), pihak pengelola TNTP dlm hal ini Dinas Kehutanannya, dan pihak Dinas Pariwisata di kota Pangkalan Bun.
February 22, 2010 at 3:46 pm
thank, for information, i hope if u get a new informations, abaut this tourism please reply againt to me…