Copyright: Rio S. Migang to Borneo Tourism Watch |BTW|
John Calvin[1] tidak hanya dikenal sebagai seorang tokoh besar Reformasi Gereja. Bila menelusuri jejak pemikiran dan sumbangsihnya terhadap bidang demokrasi, moral dan etika publik pada masyarakat sipil serta kehidupan berbangsa, mau tak mau kita akan terhenyak karena dari seseorang saja, dapat merangsang perubahan positif terhadap wajah dunia hingga saat ini, melampaui batas zaman, agama, ras, maupun suku bangsa. Apakah rahasianya?
Calvin yang pada usia 26 tahun sudah melahirkan Institutio[2], sebuah masterpiece zaman Renaissance, di masa abad pertengahan sekitar tahun 1500-an dimana Kekristenan berpengaruh sangat besar terhadap dunia[3]. Negara-negara reformed kala itu seperti Swiss, Swedia, Jerman, Belanda mengadopsi pemikiran Calvin seperti standar etos kerja yang tinggi, standar jasa dan produksi benda bermutu terbaik, mendorong nilai HAM (hak asasi manusia) yang universal dan kebebasan dalam konteks demokrasi. Bahkan setelah beberapa dekade, beberapa tokoh besar cendikiawan muslim seperti Gus Dur[4], Nurcolish Madjid, Dawam Rahardjo, hingga Muhammad A.S. Hikam dalam beberapa seminar publik yang diadakan RCRS[5] di Jakarta pun mengungkapkan kekagumannya pada pemikiran Calvin.
Menelisik sistem pendidikan yang dikecap oleh generasi Calvin pada masa itu tidak hanya menekankan aspek religius saja (teologi dan doktrin), namun sengaja dirancang komprehensif mendorong generasi muda abad pertengahan untuk mempelajari ilmu-ilmu humaniora dan liberal arts yang basisnya antara lain: mathematics, science, arts, and language. Ada dua kategori pendidikan yang wajib diperdalam dan dipraktekkan sehari-hari, yakni The Trivium (grammar, logic, rethoric) dan The Quadrivium (arithmetic, astronomy, music, geometry), melalui proses pendidikan yang cukup berat tersebut, diharapkan seorang manusia dapat mencapai kualitas terbaiknya.
(more…)